Memaknai Galungan
GALUNGAN sebagai hari raya untuk merayakan kemenangan Dharma mengalahkan Adharma sudah dirayakan berabad-abad. Kalau kenyataannya Dharma belum menang tentunya kurang tepat dirayakan. Pada hakikatnya hari raya Galungan bukanlah semata-mata hari raya untuk merayakan kemenangan Dharma. Sesungguhnya hari raya Galungan itu adalah hari untuk mengingatkan umat manusia. Mengapa diingatkan, karena manusia itu umumnya sering lupa. Yang diingatkan pada hari raya Galungan itu adalah untuk terus-menerus berjuang memenangkan Dharma dalam hidupnya ini. Karena kalau Dharma tidak tegak maka hidup manusia pun akan selalu dirundung derita karena Adharma yang merajalela.
Hari suci Galungan itu kita rayakan setiap Budha Kliwon Dungulan. Mungkin belum banyak perayaan itu dirayakan dengan terlebih dahulu mencocokkannya dengan teksnya dalam pustaka petunjuknya. Dalam Pustaka Sunarigama ada dinyatakan tentang pengertian Galungan dalam bahasa Jawa Kuno. Teks tersebut sbb: Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan, patitis ikang jnyana sandhi galang apadang mariakena byaparaning idep. Inilah teks pustaka Sunarigama yang memberikan kita penjelasan apa itu sebenarnya Galungan. Teks Sunarigama itu semestinya kita selalu pegang sebagai landasan dalam merayakan hari besar keagamaan Hindu yang disebut Galungan itu.
Yang ditekankan dalam rumusan Sunarigama itu adalah Jnyana. Dalam ajaran Sakhya Yoga Darsana dinyatakan bahwa manusia itu dibangun oleh dua unsur yaitu Purusa dan Predana. Dari Purusa itu menimbulkan Citta atau alam pikiran. Citta itu memiliki empat kekuatan yaitu Dharma, Jnyana, Vairagia dan Aiswarya. Dalam rumusan Galungan itu dinyatakan: patitis ikang Jnyana sandhi. Ini artinya pada hari Raya Galungan, Jnyana inilah yang diarahkan agar bersatu atau bersinergi. Dalam Sunarigama disebut dengan istilah Jnyana Sandhi. Kondisi diri yang disebut Jnyana Sandhi itulah yang akan mendatangkan kekuatan rohani. Kekuatan rohani itu dinyatakan dalam Sunarigama di atas sebagai galang apadang.
Rohani yang galang apadang inilah sesungguhnya kekuatan Dharma yang harus dibangun dalam diri. Inilah sesungguhnya amanat Galungan. Dengan rohani yang galang apadang ini kita melenyapkan (mariakena) kekuatan yang Adharma. Kekuatan Adharma dalam diri manusia itu dinyatakan dalam Sunarigama sebagai biyaparaning idep. Biyaparaning idep itu adalah alam pikiran yang kacau. Alam pikiran yang kacau itulah sebagai sumber perbuatan Adharma. Jadinya alam pikiran yang kacau inilah harus dilenyapkan dalam merayakan Galungan. Dharma akan tegak apabila alam pikiran yang kacau itu terus-menerus dihilangkan. Inilah yang terus-menerus diingatkan setiap hari raya Galungan. Jadinya bukan saat Galungan saja kita menegakkan Dharma, tetapi terus-menerus.
Merayakan Galungan dengan berbagai variasi tentunya boleh dan sah saja, sepanjang variasi tersebut bertujuan untuk menajamkan dan menguatkan pemaknaan hari raya Galungan tersebut sesuai dengan Tattwa-nya. Kalau variasi itu justru sebaliknya lebih menonjolkan hura-hura mengumbar nafsu duniawi, tentunya Adharma yang lebih unggul. Bahkan keunggulan Adharma saat Galungan lebih menonjol kalau dibandingkan dengan hari-hari biasa. Buktinya kecelakaan lalu lintas karena mabuk dan kebut-kebutan umumnya selalu meningkat kalau dibandingkan dengan hari-hari biasa. Judian pada hari Galungan lebih meningkat daripada hari-hari biasa. Ini artinya Adharma lebih unggul dari Dharma justru pada hari Galungan. Kenyataan itulah yang masih sering terjadi.
Demikian juga keadaan sehari-hari Adharma masih lebih unggul. Memang dalam Manawa Dharmasastra I.81 dinyatakan kaki Dharma dipreteli satu demi satu setiap zaman. Dengan demikian pada zaman Kali ini memang Dharma berkaki satu, sedangkan Adharma berkaki tiga. Meski demikian, kalau benar-benar manusia menempuh jalan bhakti yang sungguh-sungguh, kaki Dharma yang satu itu akan memiliki kekuatan yang tidak ada bandingannya. Bhakti yang sungguh-sungguh adalah bhakti yang justru meredam sifat-sifat Klesa.
Dalam merayakan Galungan justru yang masih sering ditonjolkan adalah sifat-sifat Klesa. Misalnya, sifat pamer dan mementingkan diri sendiri atau Asmita, kegelapan rohani (Awidya) karena merasa kuasa, kaya, dll. Demikian pula yang masih sering menonjol adalah pengumbaran hawa nafsu (raga) dengan pesta-pora. Merayakan Galungan yang terbalik dengan petunjuk Sastranya masih saja terjadi. Hal ini menyebabkan Adharma-lah yang masih unggul. Sinar kasih Tuhan yang suci selalu melimpah. Cuma sinar kasih Tuhan yang suci itu tidak akan kita rasakan kalau kita tutup dengan perilaku yang menonjolkan sifat-sifat Klesa tersebut. Ibarat sinar matahari yang ditutup oleh mendung yang tebal.
Merayakan Galungan dengan menonjolkan sifat-sifat Klesa itulah yang akan menjadi mendung kegelapan yang menutupi sinar kasih Tuhan yang suci. Bencana pun akan menimpa kita bertubi-tubi, bukan Tuhan yang marah.
Hari suci Galungan itu kita rayakan setiap Budha Kliwon Dungulan. Mungkin belum banyak perayaan itu dirayakan dengan terlebih dahulu mencocokkannya dengan teksnya dalam pustaka petunjuknya. Dalam Pustaka Sunarigama ada dinyatakan tentang pengertian Galungan dalam bahasa Jawa Kuno. Teks tersebut sbb: Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan, patitis ikang jnyana sandhi galang apadang mariakena byaparaning idep. Inilah teks pustaka Sunarigama yang memberikan kita penjelasan apa itu sebenarnya Galungan. Teks Sunarigama itu semestinya kita selalu pegang sebagai landasan dalam merayakan hari besar keagamaan Hindu yang disebut Galungan itu.
Yang ditekankan dalam rumusan Sunarigama itu adalah Jnyana. Dalam ajaran Sakhya Yoga Darsana dinyatakan bahwa manusia itu dibangun oleh dua unsur yaitu Purusa dan Predana. Dari Purusa itu menimbulkan Citta atau alam pikiran. Citta itu memiliki empat kekuatan yaitu Dharma, Jnyana, Vairagia dan Aiswarya. Dalam rumusan Galungan itu dinyatakan: patitis ikang Jnyana sandhi. Ini artinya pada hari Raya Galungan, Jnyana inilah yang diarahkan agar bersatu atau bersinergi. Dalam Sunarigama disebut dengan istilah Jnyana Sandhi. Kondisi diri yang disebut Jnyana Sandhi itulah yang akan mendatangkan kekuatan rohani. Kekuatan rohani itu dinyatakan dalam Sunarigama di atas sebagai galang apadang.
Rohani yang galang apadang inilah sesungguhnya kekuatan Dharma yang harus dibangun dalam diri. Inilah sesungguhnya amanat Galungan. Dengan rohani yang galang apadang ini kita melenyapkan (mariakena) kekuatan yang Adharma. Kekuatan Adharma dalam diri manusia itu dinyatakan dalam Sunarigama sebagai biyaparaning idep. Biyaparaning idep itu adalah alam pikiran yang kacau. Alam pikiran yang kacau itulah sebagai sumber perbuatan Adharma. Jadinya alam pikiran yang kacau inilah harus dilenyapkan dalam merayakan Galungan. Dharma akan tegak apabila alam pikiran yang kacau itu terus-menerus dihilangkan. Inilah yang terus-menerus diingatkan setiap hari raya Galungan. Jadinya bukan saat Galungan saja kita menegakkan Dharma, tetapi terus-menerus.
Merayakan Galungan dengan berbagai variasi tentunya boleh dan sah saja, sepanjang variasi tersebut bertujuan untuk menajamkan dan menguatkan pemaknaan hari raya Galungan tersebut sesuai dengan Tattwa-nya. Kalau variasi itu justru sebaliknya lebih menonjolkan hura-hura mengumbar nafsu duniawi, tentunya Adharma yang lebih unggul. Bahkan keunggulan Adharma saat Galungan lebih menonjol kalau dibandingkan dengan hari-hari biasa. Buktinya kecelakaan lalu lintas karena mabuk dan kebut-kebutan umumnya selalu meningkat kalau dibandingkan dengan hari-hari biasa. Judian pada hari Galungan lebih meningkat daripada hari-hari biasa. Ini artinya Adharma lebih unggul dari Dharma justru pada hari Galungan. Kenyataan itulah yang masih sering terjadi.
Demikian juga keadaan sehari-hari Adharma masih lebih unggul. Memang dalam Manawa Dharmasastra I.81 dinyatakan kaki Dharma dipreteli satu demi satu setiap zaman. Dengan demikian pada zaman Kali ini memang Dharma berkaki satu, sedangkan Adharma berkaki tiga. Meski demikian, kalau benar-benar manusia menempuh jalan bhakti yang sungguh-sungguh, kaki Dharma yang satu itu akan memiliki kekuatan yang tidak ada bandingannya. Bhakti yang sungguh-sungguh adalah bhakti yang justru meredam sifat-sifat Klesa.
Dalam merayakan Galungan justru yang masih sering ditonjolkan adalah sifat-sifat Klesa. Misalnya, sifat pamer dan mementingkan diri sendiri atau Asmita, kegelapan rohani (Awidya) karena merasa kuasa, kaya, dll. Demikian pula yang masih sering menonjol adalah pengumbaran hawa nafsu (raga) dengan pesta-pora. Merayakan Galungan yang terbalik dengan petunjuk Sastranya masih saja terjadi. Hal ini menyebabkan Adharma-lah yang masih unggul. Sinar kasih Tuhan yang suci selalu melimpah. Cuma sinar kasih Tuhan yang suci itu tidak akan kita rasakan kalau kita tutup dengan perilaku yang menonjolkan sifat-sifat Klesa tersebut. Ibarat sinar matahari yang ditutup oleh mendung yang tebal.
Merayakan Galungan dengan menonjolkan sifat-sifat Klesa itulah yang akan menjadi mendung kegelapan yang menutupi sinar kasih Tuhan yang suci. Bencana pun akan menimpa kita bertubi-tubi, bukan Tuhan yang marah.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home