INGUH "Jasri Communities"

PEACE, LOVE, FRIENDSHIP AND ALCOHOL!!!!


| Sepak Bola | | Komputer | | Artikel | | Wisata| | About Inguh|

Friday, April 28, 2006

Memaknai Galungan

GALUNGAN sebagai hari raya untuk merayakan kemenangan Dharma mengalahkan Adharma sudah dirayakan berabad-abad. Kalau kenyataannya Dharma belum menang tentunya kurang tepat dirayakan. Pada hakikatnya hari raya Galungan bukanlah semata-mata hari raya untuk merayakan kemenangan Dharma. Sesungguhnya hari raya Galungan itu adalah hari untuk mengingatkan umat manusia. Mengapa diingatkan, karena manusia itu umumnya sering lupa. Yang diingatkan pada hari raya Galungan itu adalah untuk terus-menerus berjuang memenangkan Dharma dalam hidupnya ini. Karena kalau Dharma tidak tegak maka hidup manusia pun akan selalu dirundung derita karena Adharma yang merajalela.

Hari suci Galungan itu kita rayakan setiap Budha Kliwon Dungulan. Mungkin belum banyak perayaan itu dirayakan dengan terlebih dahulu mencocokkannya dengan teksnya dalam pustaka petunjuknya. Dalam Pustaka Sunarigama ada dinyatakan tentang pengertian Galungan dalam bahasa Jawa Kuno. Teks tersebut sbb: Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan, patitis ikang jnyana sandhi galang apadang mariakena byaparaning idep. Inilah teks pustaka Sunarigama yang memberikan kita penjelasan apa itu sebenarnya Galungan. Teks Sunarigama itu semestinya kita selalu pegang sebagai landasan dalam merayakan hari besar keagamaan Hindu yang disebut Galungan itu.

Yang ditekankan dalam rumusan Sunarigama itu adalah Jnyana. Dalam ajaran Sakhya Yoga Darsana dinyatakan bahwa manusia itu dibangun oleh dua unsur yaitu Purusa dan Predana. Dari Purusa itu menimbulkan Citta atau alam pikiran. Citta itu memiliki empat kekuatan yaitu Dharma, Jnyana, Vairagia dan Aiswarya. Dalam rumusan Galungan itu dinyatakan: patitis ikang Jnyana sandhi. Ini artinya pada hari Raya Galungan, Jnyana inilah yang diarahkan agar bersatu atau bersinergi. Dalam Sunarigama disebut dengan istilah Jnyana Sandhi. Kondisi diri yang disebut Jnyana Sandhi itulah yang akan mendatangkan kekuatan rohani. Kekuatan rohani itu dinyatakan dalam Sunarigama di atas sebagai galang apadang.

Rohani yang galang apadang inilah sesungguhnya kekuatan Dharma yang harus dibangun dalam diri. Inilah sesungguhnya amanat Galungan. Dengan rohani yang galang apadang ini kita melenyapkan (mariakena) kekuatan yang Adharma. Kekuatan Adharma dalam diri manusia itu dinyatakan dalam Sunarigama sebagai biyaparaning idep. Biyaparaning idep itu adalah alam pikiran yang kacau. Alam pikiran yang kacau itulah sebagai sumber perbuatan Adharma. Jadinya alam pikiran yang kacau inilah harus dilenyapkan dalam merayakan Galungan. Dharma akan tegak apabila alam pikiran yang kacau itu terus-menerus dihilangkan. Inilah yang terus-menerus diingatkan setiap hari raya Galungan. Jadinya bukan saat Galungan saja kita menegakkan Dharma, tetapi terus-menerus.

Merayakan Galungan dengan berbagai variasi tentunya boleh dan sah saja, sepanjang variasi tersebut bertujuan untuk menajamkan dan menguatkan pemaknaan hari raya Galungan tersebut sesuai dengan Tattwa-nya. Kalau variasi itu justru sebaliknya lebih menonjolkan hura-hura mengumbar nafsu duniawi, tentunya Adharma yang lebih unggul. Bahkan keunggulan Adharma saat Galungan lebih menonjol kalau dibandingkan dengan hari-hari biasa. Buktinya kecelakaan lalu lintas karena mabuk dan kebut-kebutan umumnya selalu meningkat kalau dibandingkan dengan hari-hari biasa. Judian pada hari Galungan lebih meningkat daripada hari-hari biasa. Ini artinya Adharma lebih unggul dari Dharma justru pada hari Galungan. Kenyataan itulah yang masih sering terjadi.

Demikian juga keadaan sehari-hari Adharma masih lebih unggul. Memang dalam Manawa Dharmasastra I.81 dinyatakan kaki Dharma dipreteli satu demi satu setiap zaman. Dengan demikian pada zaman Kali ini memang Dharma berkaki satu, sedangkan Adharma berkaki tiga. Meski demikian, kalau benar-benar manusia menempuh jalan bhakti yang sungguh-sungguh, kaki Dharma yang satu itu akan memiliki kekuatan yang tidak ada bandingannya. Bhakti yang sungguh-sungguh adalah bhakti yang justru meredam sifat-sifat Klesa.

Dalam merayakan Galungan justru yang masih sering ditonjolkan adalah sifat-sifat Klesa. Misalnya, sifat pamer dan mementingkan diri sendiri atau Asmita, kegelapan rohani (Awidya) karena merasa kuasa, kaya, dll. Demikian pula yang masih sering menonjol adalah pengumbaran hawa nafsu (raga) dengan pesta-pora. Merayakan Galungan yang terbalik dengan petunjuk Sastranya masih saja terjadi. Hal ini menyebabkan Adharma-lah yang masih unggul. Sinar kasih Tuhan yang suci selalu melimpah. Cuma sinar kasih Tuhan yang suci itu tidak akan kita rasakan kalau kita tutup dengan perilaku yang menonjolkan sifat-sifat Klesa tersebut. Ibarat sinar matahari yang ditutup oleh mendung yang tebal.

Merayakan Galungan dengan menonjolkan sifat-sifat Klesa itulah yang akan menjadi mendung kegelapan yang menutupi sinar kasih Tuhan yang suci. Bencana pun akan menimpa kita bertubi-tubi, bukan Tuhan yang marah.

Thursday, April 27, 2006

SIMBOL ILMU PENGETAHUAN, MENGAPA CECAK?

Setiap umat Hindu merayakan Hari Raya Saraswati, dalam banten-nya selalu ada jajan berwujud cecek atau seekor cecak. Bila ditanya mengapa dibuat jajan dengan bentuk seperti itu, jawaban yang kita peroleh, karena lambang ilmu pengetahuan Sang Hyang Aji Saraswati adalah cecak. Cecak adalah binatang yang bijak, sakti, dan magis. Buktinya?
JIKA umat Hindu di Bali ketika sedang nobrol atau berbicara kemudian terdengar bunyi cecak, berarti apa yang bicarakan diyakini telah dibenarkan oleh sang cecak. Sehingga terlontarlah ucapan, "Pukulun Batara Sang Hyang Aji Saraswati". Lantas, mengapa dipilih wujud seekor cecak sebagai lambang ilmu pengetahuan?
Ada yang menjawab bahwa cecak itu adalah binatang keramat atau hewan suci dan cerdik. Ketika dikejar oleh pemangsanya, dia akan melepaskan ekornya. Ekor ini, setelah lepas, akan bergerak-gerak sendiri. Lalu, pemangsa akan tertarik dan perhatiannya beralih ke potongan ekor cecak yang bergerak-gerak tersebut, bukan kepada cecaknya. Dengan cara ini, cecak dapat meloloskan dirinya dari kejaran pemangsanya. Cecak akhirnya bebas berlari dan selamat dari terkaman pemangsanya. Jawaban pembenaran lainnya, bahwa cecak itu mampu berjalan merayap di dinding dan di langit-langit rumah dengan punggung menghadap ke bawah. Telapak kakinya mempunyai alat khusus untuk menempel di dinding dan plafon rumah.
Cerita tambahan lainnya, bahwa Prabu Anglingdharma yang sakti mandraguna, sampai bertengkar dengan permaisurinya gara-gara mendengarkan percakapan dua ekor cecak. Oleh karena Sang Prabu tidak mau menceritakan apa yang telah didengarnya, Sang Permaisuri kemudian melalukan labuh geni, menceburkan dirinya ke dalam api yang berkobar-kobar sehingga hangus terbakar dan tewas. Inilah akibat merahasiakan apa yang telah didengar tentang percakapan dua ekor cecak yang merupakan pasangan suami istri tersebut. Dampaknya amat fatal pada kelangsungan kehidupan rumah tangganya.

Aksara Bali
Betulkah cecak itu binatang yang bijaksana, serba tahu, sakti, keramat, magis, ibarat penjelmaan Sang Hyang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan? Benarkah cecak cocok dan tepat dipergunakan sebagai simbol ilmu pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita simak terlebih dahulu aksara Bali. Aksara Bali terbagi atas aksara biasa dan aksara suci. Aksara biasa terdiri atas aksara wreastra -- aksara yang dipergunakan sehari-hari, terdiri atas 18 aksara (lihat boks penjelasan aksara Bali), misalnya: a, na, ca, ra, ka, dan aksara swalalita atau aksara yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 aksara, misalnya: a, i, u, e, o.
Aksara suci terbagi atas aksara wijaksara atau bijaksara (aksara swalalita + aksara amsa, misalnya: ong, ang, ung, mang) dan modre atau aksara lukisan magis. Aksara amsa terdiri atas ardhacandra (bulan sabit), windu (matahari, bulatan,) dan nadha (bintang, segi tiga). Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti -- utpatti-sthiti-pralina atau lahir-hidup-mati. Dewa Brahma dengan lambang api, Dewa Wisnu dengan simbol air dan Dewa Siwa atau Iswara dengan lambang udara. Aksara amsa adalah lambang Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti.
Selain itu, dalam aksara Bali ada yang disebut pangangge tengenan. Tengenan adalah aksara wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan. Tengenan ini dilukiskan dengan pangangge tengenan serta gantungan (ditulis di bawah aksara) atau gempelan (digabungkan dengan aksara di depannya). Contoh pangangge tengenan: cecek (ng), surang (r), bisah (h), dan adeg-adeg atau tanda bunyi mati. Misalnya kata gamang, kasar, asah, dan aad. Jika kita perhatikan tulisan aksara mang, dapat ditulis ma dengan cecek sebagai aksara biasa atau ma dengan amsa sebagai aksara wijaksara/bijaksara.
Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai pangangge tengenan, cecek sama dengan aksara amsa yang berbunyi ng. Berdasarkan hal ini, logislah kalau pangangge tengenan atau aksara amsa yang merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), niasa Hyang Widhi, oleh umat Hindu di Bali dilukis atau diwujudkan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan pangangge tengenan cecek atau amsa, yang bunyinya ng (lihat huruf Balinya di boks).
Dengan demikian, agar logis, rasional, dan konsisten pada ajaran Hindu, maka dipergunakanlah binatang itu, yang hanya memiliki dwi pramana (bayu dan sabda, tanpa idep atau pikiran) sebagai simbol Sang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan dalam banten Saraswati. Bukan karena cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti dan sebagainya. Kemampuan melepaskan ekornya atau merayap di dinding, bukan hasil kreativitasnya atau inovasinya sendiri berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi karena tidak mempunyai idep, tetapi memang merupakan kodratnya sebagai binatang cecak yang diciptakan dan ditakdirkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa harus demikian.

Putri Peserta Ujian Misterius

Sepertinya kejadian ini sungguh tidak masuk akal. Bahkan sampai sekarang pertanyaan ini masih ternginag-ngiang dalam benak kita semuanya. Kisahnya terjadi saat pelaksanaan ujian akhir di siang bolong, di sebuah sekolah menengah kejuruan di Jakarta Utara
Waktu itu, aku menjadi guru pembibing di sana. Tiba-tiba seorang Ibu Guru, tidak bisa berkata sepatah katapun dan bahkan tidak bisa berbuat apapun juga. Dia terlihat sangat shock, setelah melakukan wawancara atau tanya jawab untuk menguji seorang siswa yang mengikuti ujian akhir tersebut.
Beberapa orang mencoba membantu dengan berbagai cara, tapi tak kunjung siuman. Hingga akhirnya sampai-sampai kita mengundang orang pintar, untuk bisa memulihkan kembali diri sang Ibu guru itu.
Betapa tidak, tatkala dia melihat daftar murid yang harus diujinya berjumlah 35 orang, tiba-tiba setalah murid itu keluar, mendadak daftar murid yang akan diujinya berubah menjadi 34 orang. Dan dia sama sekali tidak bisa mengingat siapa itu murid satu lagi itu.
Untuk membuktikan kebenaran data-data yang diterimanya, dicari data-data lain yang mungkin bisa menguatkan bukti-bukti lain yang menjelaskan berapa sebenarnya murid yang harus diujinya. Ternyata memang 34 orang, lalu kenapa bisa berubah? Dan ada apa dengan daftar yang barusan dilihatnya, terus murid yang barusan diwawancarainya itu, siapa dia? Kenapa ketika berhadapan dengannya tiba-tiba datanya bisa menjadi 35 orang?
Berselang beberapa waktu kemudian, akhirnya diketahui pula, bahwa murid yang barusan diujinya itu adalah, seorang putri yang cantik dan baik hati. Setahun yang lalu, tatkala dia akan mengikuti ujian akhir, dia mengalami kecelakaan yang cukup berat, dan merengut hidupnya.
Jadi, ternyata dia yang tetap ikut dalam ujian.