Tradisi Nyepi Di Desa Jasri
Ter-teran
Ada yang unik dari desa ini dimana setiap dua tahun sekali perayaan Nyepi digelar upacara khusus yang tidak dijumpai di Desa lainnya. Namun rangkaian hari raya Nyepi di Desa ini layaknya umat Hindu lainnya. Dua hari sebelum melaksanakan Catur Bratha Umat melaksanakan upacara Mekiis atau Melasti tujuannya untuk menyucikan kembali Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
Esoknya digelar upacara ngesanga dimana umat melaksanakan persembahyangan layaknya hari raya Galungan dan Kuningan namun ada hal unik yang membedakan dari hari raya lainnya yaitu selesai maturan dilanjutkan dengan ''natab ketipat''. Bila saat Galungan mereka ''natab jerimpen'', atau Kuningan ''natab semayut sulangi'', saat ''ngesanga'' mereka ''natab ketipat''. Di sinilah uniknya, ketipat yang ditatab disesuaikan dengan ''pengurip-urip'' panca wara kelahirannya. Bila mereka lahir dengan panca wara manis, maka jumlah ketipat yang ditatab sebanyak lima biji, keliwon (8), paing (9), wage (4) dan mereka yang lahir pon, ketipatnya sebanyak tujuh.
Pada saat pengrupukan, pagi harinya di Pura Desa digelar upacara pemotongan hewan caru dimana hewan yang dijadikan caru adalah seekor sapi yang nantinya akan dilebar pecaruan sandia kala di pantai Jasri.
Saat sandia kala pangerupukan digelar pecaruan diringi dengan tradisi khas ter-teran. Ter-teran yakni tradisi perang api. Di mana menjelang petang setelah krama pulang dari ngelebar banten caru di pantai Jasri, digelar perang api. Ratusan obor atau prakpak dari bahan danyuh (daun kelapa kering) diikat dan disulutkan ke api, dipakai senjata. Bobok itu dipakai saling melempar antardua kelompok, pemangku yang sebelumnya ngantebang banten caru ke segara juga tak luput dari serangan obor. Hal itu juga bermakna menahan atau mengusir wong bedolot yang mengikuti krama datang dari ngelebar banten pecaruan di pantai.
Filsafatnya di antaranya mengandung praktik pengendalian diri. Meskipun terkena api karena dilempari akibat saling lempar tak ada yang boleh emosi. Saat ter-teran (perang api) itu juga mengandung makna agar tiap orang/umat selalu waspada. Jika tidak waspada dan tak cepat menghindari bahaya, akan terkena lemparan api teman. Meski terkena api, jarang yang sampai menjadi luka bakar. Usai upacara tak ada yang boleh memandam amarah atau dendam.
Ada yang unik dari desa ini dimana setiap dua tahun sekali perayaan Nyepi digelar upacara khusus yang tidak dijumpai di Desa lainnya. Namun rangkaian hari raya Nyepi di Desa ini layaknya umat Hindu lainnya. Dua hari sebelum melaksanakan Catur Bratha Umat melaksanakan upacara Mekiis atau Melasti tujuannya untuk menyucikan kembali Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
Esoknya digelar upacara ngesanga dimana umat melaksanakan persembahyangan layaknya hari raya Galungan dan Kuningan namun ada hal unik yang membedakan dari hari raya lainnya yaitu selesai maturan dilanjutkan dengan ''natab ketipat''. Bila saat Galungan mereka ''natab jerimpen'', atau Kuningan ''natab semayut sulangi'', saat ''ngesanga'' mereka ''natab ketipat''. Di sinilah uniknya, ketipat yang ditatab disesuaikan dengan ''pengurip-urip'' panca wara kelahirannya. Bila mereka lahir dengan panca wara manis, maka jumlah ketipat yang ditatab sebanyak lima biji, keliwon (8), paing (9), wage (4) dan mereka yang lahir pon, ketipatnya sebanyak tujuh.
Pada saat pengrupukan, pagi harinya di Pura Desa digelar upacara pemotongan hewan caru dimana hewan yang dijadikan caru adalah seekor sapi yang nantinya akan dilebar pecaruan sandia kala di pantai Jasri.
Saat sandia kala pangerupukan digelar pecaruan diringi dengan tradisi khas ter-teran. Ter-teran yakni tradisi perang api. Di mana menjelang petang setelah krama pulang dari ngelebar banten caru di pantai Jasri, digelar perang api. Ratusan obor atau prakpak dari bahan danyuh (daun kelapa kering) diikat dan disulutkan ke api, dipakai senjata. Bobok itu dipakai saling melempar antardua kelompok, pemangku yang sebelumnya ngantebang banten caru ke segara juga tak luput dari serangan obor. Hal itu juga bermakna menahan atau mengusir wong bedolot yang mengikuti krama datang dari ngelebar banten pecaruan di pantai.
Filsafatnya di antaranya mengandung praktik pengendalian diri. Meskipun terkena api karena dilempari akibat saling lempar tak ada yang boleh emosi. Saat ter-teran (perang api) itu juga mengandung makna agar tiap orang/umat selalu waspada. Jika tidak waspada dan tak cepat menghindari bahaya, akan terkena lemparan api teman. Meski terkena api, jarang yang sampai menjadi luka bakar. Usai upacara tak ada yang boleh memandam amarah atau dendam.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home